Sejarah Aksara Batak.

Surat Batak sering diklasifi­kasikan sebagai sebuah
silabogram, namun ini jelas keliru karena aksara Batak – sebagaimana
juga aksara-aksara lainnya di Nusantara – merupakan bagian dari rumpun
tulisan Brahmi (India) yang lebih tepat dapat diklasifikasikan sebagai
abugida (paduan antara silabogram dan abjad). Sebuah abugida terdiri
dari aksara yang melambangkan sebuah konsonan sementara vokal dipasang
pada aksara sebagai diakritik. Abugida adalah jenis tulisan yang
bersifat fonetis dalam arti bahwa setiap bunyi bahasanya dapat
dilambangkan secara akurat.


Asal Usul Aksara Batak


Paleografi adalah ilmu tentang tulisan-tulisan kuno. Di banyak
masyarakat yang mengenal tulisan terdapat naskah-naskah kuno yang
umurnya dapat mencapai ratusan atau bahkan ribuan tahun. Aksara yang
terdapat pada naskah-nas­kah kuno pada umumnya berbeda de­ngan ak­sara
yang ter­da­pat dalam naskah yang lebih baru. Dengan cara
memper­ban­ding­kan aksara-akasara yang terdapat dalam naskah-naskah
lama, kita dapat menyusun semacam silsilah aksara.



Sebagian besar sistem tulisan yang ada di Afrika, Eropa, dan Asia
ber­asal dari satu sumber, yakni ak­sara Semit Kuno yang menjadi ne­nek
moyang tulisan-tulisan Asia (Arab, Ibrani dan India) maupun Eropa
(Latin, Yunani dsb.)



Aksara Batak termasuk keluarga tulisan India. Aksara India yang
ter­tua adalah aksara Brahmi yang menurunkan dua kelompok tulisan yakni
In­dia Utara dan India Selatan. Aksara Nagari dan Palawa masing-masing
ber­asal dari kelompok utara dan selatan dan kedua-duanya per­nah
di­pa­kai di berbagai tem­pat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia
(Casparis 1975). Yang paling berpengaruh adalah aksara Palawa. Semua
tulisan asli Indonesia berinduk pada aksara tersebut.



Pada Gambar berikut dapat dilihat di mana se­cara garis besar tempatnya aksara Batak dalam sil­silah tulisan sedunia.



Surat Batak terdiri atas dua perangkat huruf yang masing-masing di­se­but ina ni surat dan anak ni surat.
Sistem tulisan yang demikian juga di­pakai oleh semua abjad India dan
abjad-abjad turunannya. Dan me­mang aksara Batak dan demikian juga semua
aksara Nusantara lainnya yang berinduk pada aksara India). Yang dimaksud dengan “aksara Nusantara” adalah aksara-aksara turunan India yang terdapat di kepulauan Asia Tenggara.



Namun demikian, kerabat surat Ba­tak
yang paling dekat adalah aksara-aksara Nusan­tara, dan khususnya yang
di Sumatra. Tulisan Nusantara asli dapat dibagi atas lima kelom­pok:


1. Aksara Hanacaraka


(Jawa, Sunda, Bali)



Ketiga aksara ini sangat mirip sekali dan disebut Hanaca­raka
menu­rut lima aksara yang pertama. Menurut De Caspa­ris, ketiga tu­lisan
terse­but berasal dari aksara Jawa Kuno (Kawi), sementara aksa­ra Kawi
secara lang­sung berasal dari aksara Palawa (Casparis 1975).


2. Surat Ulu


(Kerinci, Rejang, Lampung, Lembak, Pase­mah, dan Serawai)



Surat Ulu, yang kadang-kadang juga dinamakan aksara Ka-Ga-Nga
me­nurut bunyi ketiga aksara pertama, sangat mirip satu sama lain dan
di­pa­kai di dalam daerah yang sangat luas yang mencakup empat propinsi
yakni Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung. Aksara Kerinci (su­rat incung)
digunakan di Kabupaten Kerinci, propinsi Jambi, di seki­tar kota
Sungaipenuh. Dataran tinggi di pegunungan Bukit Barisan ini ber­batasan
dengan propinsi Sumatra Barat dan propinsi Bengkulu.



Aksara yang ada di kabupaten Rejang-Le­bong, Pro­pinsi Bengkulu,
ju­ga dikenal sebagai aksara Rencong. Masih di kabupaten Bengkulu dan di
perbatasan Bengkulu-Sumatra Selatan terdapat beberapa suku bangsa yang
memiliki aksara yang hampir sama dengan aksara Rejang-Lebong, yakni
aksara Lem­bak, Pase­mah, dan Serawai. Aksara Lampung berbeda se­dikit
dari Surat Ulu, tetapi masih banyak memiliki persamaan.


3. Surat Batak


(Angkola-Mandailing, Toba, Simalungun, Pak­pak-Dairi, Karo)


4. Aksara Sulawesi


(Bugis, Makasar, dan Bima)



Di Sulawesi terdapat dua aksara yang berbeda. Yang per­tama adalah
ak­sara Makasar Kuno. Naskah yang ditulis de­ngan mengguna­kan aksara
ter­sebut sangat sedikit jumlahnya karena sejak abad ke-19 tidak dipakai
la­gi.



Aksara kedua adalah aksara Bugis yang kemudian juga digu­nakan
oleh orang Makasar menggantikan aksara Makasar Kuno. Pada hakikat­nya
aksara Bugis-Makasar tersebut persis sama, perbedaannya hanya ada pada
jumlah huruf karena Bugis mempunyai empat aksara tambah­an.



Aksara
Bugis-Makasar pernah juga diguna­kan di Bima dan Ende (bekas daerah
taklukan Makasar), namun nas­kah dari kedua daerah tersebut sangat
langka sekali. Sama dengan di Sumatra, orang Bugis pun me­na­ma­kan
aksaranya surat: Surat Bugis.


5. Aksara Filipina


(Bisaya, Tagalog, Tagbanwa, Mangyan)



Seperti juga halnya dengan ketiga kelompok di atas, aksara Filipina
juga merupakan suatu kelompok yang mempunyai be­berapa sistem tulis­an
yang satu sama lainnya banyak menunjukkan persama­an.

Keempat aksara adalah Sulat Bisaya, Sulat Tagalog, Surat Tagbanwa, dan Surat Mangyan.



Naskah yang paling lama pada umumnya ditulis pada ba­han yang da­pat
bertahan lama seperti di batu atau di lempe­ngan logam. Batu ber­tu­lis
yang paling tua di Indonesia adalah prasasti Raja Mulavar­man yang
di­te­mu­kan di Kutai, Kali­man­tan Barat yang ditulis pada tahun 322
Saka (tahun 400 Masehi). Hampir sama tua (450 M) adalah prasasti Raja
Pur­na­varman yang ditemukan di Ci Aruten, Jawa Barat.



Kedua prasasti
ter­se­but beraksara Palawa, dan berba­hasa Sanskerta. Prasasti-prasasti
Sri­wi­ja­ya dari abad ke-7 juga masih menggunakan ak­sara Palawa,
tetapi ba­ha­sa­nya lain, yakni bahasa Melayu Kuno. Lambat-laun aksara
Palawa ter­se­but berubah bentuk­nya sehingga pada abad kede­lapan
menurunkan ak­sa­ra Kawi (baik di Sumatra maupun di Jawa).



Aksara Kawi
tersebut ma­sih relatif mirip dengan aksara in­duknya, tetapi di
sepan­jang abad ak­sara itu berkembang lagi dan bentuk hu­rufnya
berubah. Sebagai akibat per­ke­mbang­an tersebut, pada abad ke-14
terbentuk beberapa aksara serumpun, ter­masuk Sumatra (prasasti
Adityawarman) dan Jawa (prasasti Maja­pa­hit) yang sudah sangat berbeda
dari aksara Palawa.



Sedangkan aksara Ja­wa hanacaraka (abad
kedelapan belas hingga kini) juga jauh ber­be­da dengan aksara Kawi di
zaman Majapahit. Bila kita perhatikan per­ubah­an-perubah­an yang
terjadi di sepanjang abad menjadi jelas bahwa per­ubahan itu tidak
terjadi secara mendadak melainkan secara berkesi­nambung­an. Sebagai
contoh, mari kita simak sejarah perkembangan hu­ruf Na.



Pada naskah Batak ditemukan empat bentuk Na. Yang berbentuk boleh dianggap yang paling tua karena masih mirip dengan bentuk aksara Palawa dan Kawi (kolom 2–4). Na-kuno ini memiliki varian yang memperlihatkan perkembangan ke arah bentuk baru dan .







Pada kolum pertama tabel di atas terlihat huruf Na sebagaimana
di­tu­lis di India pada awal dan pertengahan milenium pertama. Kolom
kedua mem­perlihtakan aksara yang sama sekitar seribu tahun kemudian
(abad ke-14). Ternayata dalam kurun waktu seribu tahun bentuk Na
Majapahit itu tidak berubah jauh dengan bentuk Palawa; bagian bawah
masih ham­pir sama, namun bagian atas disederhanakan. Kolom ke-3 dan
ke-4 mem­per­lihatkan dua bentuk aksara yang juga dari abad ke-14,
tetapi di­gu­na­kan di Sumatra, persisnya di Dharmasraya, di perbatasan
Sumatra Barat dan Jambi.



Walaupun bentuknya berbeda, kedua aksara
berasal dari masa dan tempat yang sama. Keduanya digunakan pada abad
ke-14 di dalam ke­rajaan Malayu. Yang pertama ditulis pada naskah
Tanjung Tanah yang ber­asal dari Dharmasraya, dan yang kedua ditemukan
pada bagian be­la­kang patung Amoghapasa yang ditulis oleh Adityawarman
dan di­te­mu­kan di Dharmasraya juga. Bentuk Na naskah Tanjung Tanah
tidak ber­be­da jauh dengan bentuk aksara Bali Baru namun Jawa Baru
su­dah makin men­jauh dari aksara asalnya.



Jelas kelihatan di sini bahwa aksara Palawa dan Kawi ma­sih sa­ngat mirip, dan juga Batak , yakni Na-kuno, masih cukup dekat dengan aksara Palawa dan Kawi, sementara Batak (Na-Baru) merupakan penyederhanaan bentuk .



Dengan adanya sejumlah naskah kuno, terutama prasasti dan nas­kah
yang ditulis di lempengan-lempengan tembaga atau emas, maka sejarah
ak­sara Jawa dapat ditelusuri kembali sampai pada awal perkem­bangan
ak­sara Kawi. Orang Batak, Rejang, Kerinci, Lampung, Bugis, Makasar dan
juga orang Filipina pada umumnya tidak menge­nal prasasti atau nas­kah
logam, dan hanya menggunakan bahan yang mudah lapuk seperti bam­bu,
kulit kayu (Sumatra), dan lontar (Sula­wesi). Naskah yang masih ada pada
umumnya tidak lebih tua daripa­da 200 tahun sehingga kita ti­dak tahu
banyak tentang sejarah perkem­bangan aksara-ak­sara Nusan­ta­ra
ter­sebut. Diduga bahwa semua tu­lisan Nusan­tara di luar Jawa dan Bali
ber­asal dari sumber yang sama yang dianggap berada di Suma­tra bagian
selatan pada masa kejayaan Sriwijaya.



Di antara aksara-aksara Nusantara yang paling dekat de­ngan ak­sara Ba­tak adalah aksara Kerinci (surat incung), aksara Lebong, Lembak, Lin­tang, Pasemah, Rejang, Serawai (surat ulu),
serta aksara Lam­pung. Sa­ma dengan daerah Batak, daerah-daerah
tersebut juga agak terpencil di da­erah pegunungan sehingga kurang
terpeng­aruh oleh pengaruh-pe­nga­ruh asing yang dibawa dari seberang
lautan dan secara lambat me­rem­bet da­ri pesi­sir ke pedalaman. Salah
satu pengaruh budaya asing ada­lah ma­suk­nya agama Islam.



Serentak
dengan penyebaran agama Islam ber­sebar pu­la tulisan Arab yang di
Melayu terkenal se­bagai tulisan Jawi. Ak­sara “Arab gundul” tersebut
cepat mengganti­kan aksara-aksara Suma­tra asli yang kemudian hilang
sama sekali. Karena daerah-daerah yang di­sebut di atas berada di
pedalaman dan agak terpencil, maka pengaruh Islam baru di­rasakan pada
abad ke-19 sehingga aksara asli masih dapat ber­tahan sam­pai pada abad
ke-20. Besar kemungkinan bahwa aksara Mi­nang­ka­bau dan Melayu juga
pernah ada, tetapi ke­mudian diganti­kan oleh tulis­an Arab-Melayu
se­hingga hilang tak ber­bekas.



Aksara-aksara surat ulu di Sumatra bagian selatan banyak
memiliki per­sama­an dengan hu­ruf Batak. Huruf Ka, Ga, dan Ha hampir
sama ben­tuk­nya, dan juga huruf Da masih banyak menunjukkan persamaan.







Persamaan Surat Batak, Surat Ulu, dan Surat Incung

Sebagian nama anak hu­ruf juga sangat mirip. Selain itu se­mua aksara
Sumatra dan termasuk juga seba­gian ak­sara Sulawesi dan Filipina
memiliki persa­maan yang struktural yang membe­da­kannya dengan aksa­ra
India, Asia Tenggara, Jawa, dan Bali. Ciri-ciri khas aksara-aksara
Su­matra, Sulawesi, dan Filipina adalah kesederhanaan­nya.



Dibandingkan dengan aksara-aksara India yang memiliki empat pu­luhan
aksara ditambah belasan tanda diakritik, tulis­an-tulisan Nusantara jauh
lebih sederhana. Tulisan Jawa dan Bali memiliki 20 aksara dan 10
diakritik, tulisan Lampung memiliki 20 aksara dan 12 diakritik, tulisan
Makasar 19 aksa­ra dan 5 diakritik, dan tulisan Ta­galog hanya 15
ak­sara dan dua diakritik.



Tulisan-tulisan India dan juga tulisan Sunda, Jawa, dan Bali
mem­punyai tanda “pasangan”, ialah tanda diakritik penanda konso­nan
yang ditulis untuk menutup konsonan lain di depannya. Tulis­an-tulisan
Nusantara di luar Jawa dan Bali tidak meng­guna­kan pasangan sehingga
jumlah huruf yang harus dihafal jauh berkurang.



Kesederhanaan dalam bentuk aksaranya juga adalah ciri-ciri khas bagi
aksara-aksara tersebut. Bila dibandingkan de­ngan aksara Jawa atau Bali,
tampak bahwa aksara Sumatra, Sulawesi dan Filipina mempunyai bentuk
yang lebih sederha­na. Bentuk yang berlengkung-lengkung telah diganti
oleh ben­tuk yang lebih bersegi yang lebih se­suai untuk menulis di
permukaan yang keras seperti di kulit bambu.



Aksara-aksara tersebut juga memperkenalkan sebuah hal yang baru yakni
aksara-aksara yang didahului bunyi sengau. Batak (Karo) memiliki dua
huruf tambahan yakni Mba dan Nda, aksara Kerinci dan Rencong menambahkan
dua lagi yakni Ngga dan Nja. Aksara Bugis juga mem­punyai empat aksara
yang bersengau ialah Ngka, Mpa, Nra, dan Nca. Perlu dicatat bahwa gejala
tersebut tidak ada pada ak­sara Batak selain Karo, dan juga tidak ada
di Lampung, Makasar, dan Filipina.



Karena persamaan-persamaan yang tadi disebut, dapat diduga bahwa
semua aksara Nusantara di luar Jawa dan Bali berasal dari satu aksara
purba. Aksara purba tersebut ke­mungkinan besar tercipta di daerah
Su­ma­tra selatan pada masa kejayaan dan di sekitar wilayah Sriwijaya.
Ak­sara purba tersebut dapat dipastikan tercipta di bawah pengaruh
aksara-aksara Palawa yang telah berkembang di wilayah tersebut, namun
diolah sedemikian rupa sehingga bentuknya menjadi lebih sederhana supaya
lebih mudah dipelajari, lebih sesuai untuk ba­hasa-bahasa setempat
(yang dari segi bunyi jauh le­bih sederhana daripada bahasa-bahasa
India), dan juga lebih sesuai untuk menulis di atas bambu.



Bagaimana
persisnya perkembangan aksara Sumatra se­lanjutnya, bagaimana
hubungannya dengan kerabat-kerabat lainnya di Filipina dan di Sulawesi,
dan bagai­mana persisnya peranan aksara Jawa da­lam pembentukan aksara
Sumatra tidak diketahui dan mung­kin juga kelak tidak akan diketahui.

Walaupun pengetahuan kita tentang masa lampau aksara Batak sa­ngat
terbatas, kita dapat mengetahui sedikit tentang sejarah perkemba­ngan
aksara Batak dengan cara memperban­dingkan aksara Batak satu sama lain,
dan juga de­ngan aksara Nusantara lainnya. Ternyata penelitian yang
demikian yang sampai sekarang belum per­nah dilakukan, sa­ngat
bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita tentang perkembangan dan arah
penyebaran aksara Batak. Analisa ini dimulai pada ina ni surat.


Aksara (Ina ni Surat)


Van der Tuuk berpendapat bahwa perkembangan aksara Batak terjadi dari
selatan ke utara, dan bahwa daerah asalnya di Mandailing (Tuuk
1971:77). Parkin (1978:100) juga berpendapat demikian karena
alasan-alasan berikut:



Aksara Nya, Wa dan Ya melambangkan tiga bunyi yang terda­pat dalam
bahasa Mandailing sementara dalam bahasa Toba tidak ada bunyi [ny], [w],
atau [y]. Dengan demikian ketiga huruf tersebut sebenarnya mubazir
karena tidak terdapat bunyinya dalam bahasa Toba. Sebagai contoh,
Mandailing sayur menjadi saur di Toba, manyurat menjadi manurat.
Pada bahasa Pakpak dan Karo tidak ada bunyi [ny] dan juga tidak ada
aksara Nya. Keberadaan Nya di aksara Toba membuktikan bahwa aksara Toba
berasal dari Mandai­ling.



Argumentasi Parkin sangat masuk akal. Sekiranya aksara Batak
mula-mula tercipta di Toba, tak mungkin ada huruf Nya, karena ti­dak ada
bunyi itu dalam bahasa Toba. Di Tanah Karo ­– daerah yang paling utara
le­taknya, huruf
(yang di selatan berbunyi Nya) berubah maknanya menjadi Ca. Ternyata
urutan dalam abjadnya tetap sama dengan posisi Nya ialah antara La dan
I. Dengan demikian, huruf
menunjukkan bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke
utara.



Teori terse­but juga didukung oleh faktor-faktor lainnya:



Keragaman dalam varian-varian aksara paling besar di Man­dailing,
di­susul oleh Toba dan Karo. Namun di Karo, keragaman tersebut
di­se­bab­kan oleh adanya perkembangan-perkembangan yang relatif baru
se­per­ti variasi yang ada pada huruf Sa, Da, dan Ca, dan terutama
karena ada­nya se­jumlah aksara baru seperti ketiga varian Mba , dan ser­ta kedua varian Nda ( dan ). Semua varian terse­but me­ru­pa­kan perkembangan baru dan tidak ada di daerah Batak lainnya.



Huruf Ma memiliki berbagai varian di Toba dan Angkola-Man­dailing: , , dan , sementara di Pakpak, Karo dan Simalungun masing-masing hanya ada satu bentuk saja. Di antara ketiga varian tadi, bentuk biasa digunakan di Angkola dan Mandailing, tetapi agak jarang digunakan di Toba yang lebih cenderung memakai dan .
Keragaman dalam varian-varian aksara di Toba, dan khusus­nya di
Man­dailing menunjuk pada usia tinggi tulisan di daerah itu. Sebagai
con­toh akan saya mengemukakan dua aksara, yakni Na dan Ja.



Sebagaimana telah ditunjuk di atas, bentuk Na dalam aksara Kawi sangat mirip dengan varian
yang terdapat di Mandai­ling dan di Toba. Hal ini tidak berarti bahwa
ak­sara Batak berasal dari aksara Kawi, melainkan menunjukkan bahwa
kedua aksara tersebut masih mempunyai nenek mo­yang yang sama atau bahwa
terdapat pengaruh Jawa pada seja­rah perkembangan aksara Batak purba.
Keberadaan varian yang
oleh Voorhoeve disebut “Na kuno” di Mandailing dan Toba juga
menunjuk­kan bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke
utara.



Bentuk aksara Ja () sama dengan aksara Da ()
yang ditambah sebuah garis horisontal. Hal yang sama juga berlaku untuk
da dan ja pada aksara Kawi, tetapi bukan pada aksara Palawa sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada ta­hap awal perkemba­ngan aksara Batak
mesti ada pengaruh Kawi. Aksara ke­mudian disederhanakan sehingga di daerah utara dari Toba hanya bentuk yang ada.

Bila kita perbandingkan kedua aksara selatan (Angkola-Mandai­ling dan
Toba), ternyata hanya terdapat sedikit perbe­daan saja. Aksa­ra Toba
kehilangan beberapa varian dari aksa­ra Sa dan Ha, tetapi di daerah Toba
juga terjadi perkem­bangan baru dengan memperkenal­kan varian Ta () dan varian Wa (). Namun tidak tertutup pula kemungkinan bahwa dan adalah bentuk yang lebih lama yang di Mandailing dan di sebagian Toba kemudian berubah menjadi varian Ta () dan varian Wa ()!



Bertolak pada anggapan bahwa t dan ada­lah bentuk yang lebih lama, dan dan per­kembangan baru, maka kedua varian dan kemudian bersebar ke arah utara ke Pakpak-Dairi () dan Karo ().
Mesti di­akui bahwa se­ca­ra teoretis terdapat kemungkinan bahwa varian
v meru­pakan perkemba­ngan baru di Pak­pak-Dairi yang kemudi­an
bersebar ke selatan lalu di­pakai di sebagian daerah Toba. Akan tetapi
ke­mungkinan tersebut hanya kecil saja. Se­bagai­mana akan ditunjuk­kan
nanti, terlalu banyak indi­kasi bahwa perkembangan aksara Batak adalah
dari selatan ke utara dan bu­kan sebaliknya.



Suatu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa aksara Simalu­ngun
memiliki beberapa persamaan dengan Mandailing. Misalnya varian Sa, dan , dan juga varian Ha (yang sangat mirip dengan varian-varian Angkola-Mandailing dan )
terdapat di Mandailing dan di Simalungun, tetapi ti­dak di Toba. Hal
itu menun­jukkan bahwa ada ke­mungkinan besar bahwa sudah sangat dini
aksa­ra Batak dari Mandailing masuk ke Simalungun. Bentuk huruf Ya
dengan garis hori­sontal yang melengkung juga menunjukkan pengaruh
Mandai­ling. Menurut Van der Tuuk, kedua varian Toba untuk huruf Ta dan Wa dipakai di “Toba Timur”, sedangkan varian dan
dipakai di daerah “Toba Ba­rat”. Sayang Van der Tuuk tidak menjelaskan
daerah mana yang dimak­sud de­ngan Toba Barat dan Toba Timur, tetapi
kalau Van der Tuuk benar, dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut:



Aksara Batak mula-mula berkembang di daerah Angkola-Man­dai­ling,
barangkali tidak jauh dari perbatasan Sumatra Barat. Dari sana ak­sara
Batak tersebar arah ke utara sehingga terbentuk sebuah aksara purba
Toba-Timur–Simalungun (kemudian disebut Toba-Si­malungun) di dareah
antara Parapat dan Balige yang subur dan padat penduduk. Ak­sara
Simalungun kemudian tidak menunjukkan perkemba­ngan yang ber­arti,
tetapi berubah sedikit bentuknya se­hingga semua aksara kelihatan
seperti terdiri dari garis-garis yang terpisah-pisah sebagaimana
kelihatan sekali pada huruf Ma dan Ra.



Aksara purba Toba-Simalungun menurunkan dua jenis hu­ruf: Toba Timur yang menggunakan Ta dan Wa selatan: , dan , dan Toba Barat yang menggunakan Ta dan Wa utara: dan . Bentuk utara ini dapat dianggap se­bagai perkembangan kemudian yang masuk dari Toba Barat ke Pak­pak-Dairi ( dan ) dan Karo (hanya ).
Perlu dite­gaskan di sini bahwa tidak ada garis pasti antara ‘Toba
Timur’ dan ‘Toba Barat’. Naskah yang dapat dipastikan daerah asal­nya
terlalu sedikit. Lagi pula, bentuk huruf mana yang di­pakai oleh salah
seorang juga sangat tergantung pada gurunya. Sifat datu yang suka mengembara turut menga­burkan ba­tas-batas antara daerah.



Daerah Karo dapat dipastikan sebagai daerah yang paling bela­kangan
menerima aksara Batak. Tetapi justru di daerah ini, tulisannya
berkem­bang sangat subur. Ratusan naskah Karo yang tersimpan di berbagai
koleksi di mancanegara mem­buktikan bahwa bukan saja para datu (di Karo disebut guru) bisa membaca dan menulis.



Di situ juga banyak ter­dapat pu­las – semacam surat kaleng yang di daerah Karo juga terkenal sebagai musuh bÄ›rngi (musuh
di malam hari). Tetapi bukti yang paling kuat bahwa aksara Batak cukup
umum diketahui oleh para pria Karo adalah kebiasaan menulis ratapan
percintaan (bilang-bilang) di ruas-ruas bambu. Barangkali
justru karena surat Batak di Karo menjadi demikian populer, maka terjadi
perkembangan-perkembangan yang baru seperti dibuktikan oleh hu­ruf Mba
dan Nda yang khas Karo.


Tanda Diakritik (Anak ni Surat)


Setiap anak ni surat memiliki nama tersendiri yang
berbe­da-beda tergantung pada daerahnya. Studi perbandingan nama
diakritik terse­but ternyata sangat bermanfaat dalam menentu­kan arah
penyebaran aksara Batak dan juga menunjukkan beberapa persamaan dengan
nama diakritik di Sumatra Sela­tan dan di Jawa.



e



BE (Jawa taling, Lampung keteliling, Rejang katiling)



Di Mandailing, diakritik ini dinamakan talinga – hampir sama de­ngan istilah yang dipakai di Jawa, Rejang, dan Lam­pung.



Di Simalungun, nama diakritik tersebut ditambah dengan awalan ha- dan akhiran -an sehingga menjadi hatalingan. Karo kÄ›tÄ›lengÄ›n ba­rangkali berasal dari Simalungun hataling­an.

Di Toba dan Pakpak hatalingan menjadi hatadingan. Se­babnya ada­lah barangkali bahwa taling tidak berarti apa-apa dalam bahasa Batak, sedangkan tading berarti ‘tinggal’. De­ngan demikian hatadi­ngan dapat
diartikan ‘ketinggalan’, dan pemberian nama tersebut ma­suk akal
meng­ingat diakritik tersebut berada sebelah kiri huruf induk, jadi dia
seolah-olah ‘ketinggalan’ di belakang.



Kemungkinan besar bahwa istilah hatadingan bukan lang­sung berasal dari Mandailing, melainkan melalui Simalungun hatalingan.
Mengingat bahwa daerah Simalungun tidak berba­tasan langsung de­ngan
daerah Angkola-Mandailing, dapat di­tarik kesimpulan bahwa istilah ha­talingan “lahir”
di daerah perbatasan Toba-Simalungun. Hal ini sesuai sekali dengan
hipotesa bahwa ak­sara Toba dan Simalungun berasal dari ak­sara purba
Toba-Simalungun kira-kira di daerah antara kota Parapat dan

Balige. K = Karo, P = Pakpak-Dairi, S = Simalungun, T = Toba, M = Angkola dan Man­dailing.



Secara sederhana, penyebaran nama dia­kritik tersebut adalah sebagai
berikut :



Angkola dan Man­dailing.:  Talinga



|



Simalungun:  Hatalingan T Hatadingan



| |



Karo:  KÄ›telengan . Pakpak-Dairi: Ketadingin



o, u



Bo



Diakritik yang berbentuk x memiliki makna [o] kecuali di Karo di mana bunyinya adalah [u]. Di Mandailing diakritik ini bernama siala ulu. Siala tidak ada artinya, tetapi ulu ber­arti
‘kepala’, barangkali karena le­taknya yang ‘mengepalai’ hu­ruf
induknya. Selain diakritik ini ada lagi diakritik /i/ yang sama
posisinya, dan juga namanya agak mirip yakni ulua.



Di Toba siala ulu dipersingkat menjadi siala saja, dan ter­dapat pula nama kedua untuk diakritik tersebut yakni sihora. Di Pakpak-Dairi na­manya persis sama (kalau ditulis), tetapi diucapkan sikora karena makna huruf h di Toba adalah [ha] sedangkan di Pakpak-Dairi selalu [ka]. Si­malungun si­horlu, dan Karo sikurun masih mirip bunyinya dengan si­hora, na­mun kurang jelas bagaimana kepastian­nya:



Angkola dan Man­dailing:  Siala Ulu



|



Toba:  Siala Toba: Sihora



|



Pakpak - Dairi: Sikora (SImalungun: Sihorlu, Karo: Sikurun)



u, Ä›

 

Bu (M, T, S, P) Be (K, P)



Diakritik ini terdapat dua kali di Pakpak, sekali sebagai tanda yang
mewakilkan bunyi [u] dan sekali lagi sebagai tanda yang mewakilkan bunyi
[É™], yaitu Ä›-pepet. Yang pertama disebut kabÄ›rÄ›tÄ›n, yang kedua kabÄ›rÄ›tÄ›n podi. Silsilah aksara ini jelas sekali. Kata kabÄ›rÄ›tÄ›n berasal dari Mandailing boruta (juga disebut buruta) yang menurunkan bentuk Toba haboruan dan haborotan. Kedua nama ini meru­pakan hasil interpretasi dari kata boruta dan buruta. Boruta jelas di­anggap sebagai gabu­ngan kata boru ‘anak perempuan’ dan akhiran -ta ‘kita’.



Sebagaimana dapat dilihat pada Mandailing talinga yang menjadi Simalungun hatali­ng­an, dan Mandailing amisara yang menjadi Toba hamisaran,
terda­pat kecen­derungan untuk menambah imbuhan ha-…-an. De­ngan
demikian boru=ta men­jadi ha=boru=an. Sebagaimana juga terjadi dalam hal
hatalingan yang menjadi hatadingan (ialah interpretasi makna berda­sarkan letaknya), diakritik ini pula mendapatkan nama keduanya haborotan (ha=borot=an) karena ia bersatu atau ‘tertambat’ (artinya borot adalah ‘tam­bat’) pada hu­ruf induknya.



Angkola Mandailing: Boruta (Buruta)



|



Toba: Haboruan Toba: Haborotan



| |



Pakpak- Dairi: Kaběrětěn [u],

Pappak-Dairi: Kaběrětěn Podi [ə] Simalungun: Haboritan [u]



|



Karo: Kěběrětěn [ə]



ng




B^ (India Anusvara)




Nama diakritik ini adalah amisara di Mandailing yang bunyinya mirip sekali dengan nama diakritik ini di India yakni anusvara. Di Toba dan Simalungun ditambah dengan bunyi sengau [n] dan imbuh­an ha-…-an menjadi haminsaran. Karena bunyi minsar mirip dengan binsar (yang diucapkan ‘bitsar’ atau ‘bincar’) maka di Pakpak-Dairi diakritik ini menjadi kÄ›bincarÄ›n (T binsar dan P bincar ber­arti ‘terbit’). Di Toba juga terdapat nama kedua – paminggil yang berarti ‘bunyi bernada tinggi’.



Angkola Mandailing: Amisara



|



Toba: Hamisaran Toba,Simalungun: Haminsaran Toba: Paminggil



|



Pakpak Dairi: Kebincaren



|



Karo: Kěbincarěn



i




Bi (J Ulu, L Olan, R Kaluan)




Di hampir seluruh Indonesia, arti ulu adalah ‘kepala’ (hanya
bahasa Me­layu/Indonesia yang memakai ‘kepala’ yang berasal dari
ba­hasa Sans­ker­ta). Barangkali diakritik ini dinamakan ulu karena ia “mengepalai” hu­ruf in­duknya. Namanya di Mandailing dan Toba ulua, dan di Toba ada na­ma kedua yang masih mirip yakni hauluan dan haluain. Kata dasar ha=ulu=an adalah ulu ditambah dengan imbuhan ha-…-an, sedang­kan haluain agak menyimpang. Pakpak-Dairi kaloan dan Karo kÄ›lawan di­turun­kan dari Toba haluain atau Simalungun haluan.



Angkola Mandiling: Uluwa



|



Toba: Uluwa Toba: Haluain (Hauluan), Simalungun: Haluan



|



Pakpak Dairi: Kaloan Karo: Kělawan



o (ou)



BO




L Kětulung (au), R Katulung (au)




Di Lampung dan di Rejang terdapat tanda diakritik untuk diftong /au/ yang dinamakan kětulung dan katulung yang jelas sekali sama dengan Simalungun hatulungan. Simalungun
adalah satu-satunya daerah yang memiliki diakritik tersendiri un­tuk
diftong [ou]. Diftong [ou] juga terda­pat di Karo, tetapi tidak di
daerah-daerah lainnya. Na­mun di Karo, tidak terdapat diakritik khusus
untuk bunyi [ou]. Ken­dati demikian, Karo memiliki dua varian yang
menandai bunyi [o] yakni BO dan Bo. Dua-duanya bernama kětolongěn.
Kemungkinan besar bahwa da­hulu kala Karo pernah membedakan penulisan
[o] dan [ou] sebagaimana sekarang masih halnya di Simalungun.



Karena namanya yang mirip dengan Lampung kÄ›tulung dan Re­jang katulung dapat
dipastikan bahwa diakritik tersebut bukan perkembangan baru, dan juga
mendukung hipotesa saya bahwa aksara Simalungun (atau lebih tepat aksara
Purba Toba-Simalungun) adalah lebih tua daripada Toba Barat, Pak­pak
atau Karo.



Mandailing Angkola Toba (?)



|



Simalungun: Hatulungan [ou]



|



Karo: Kětolongen [o]



Kalau digambarkan, arah penyebaran aksara Batak adalah sebagai berikut:








Gambar 15: Arah Penyebaran Aksara Batak
 



Sumber disadur dari: https://ulikozok.com/aksara-batak/sejarah-aksara-batak/


External Link: Lihat juga Paket Pernikahan Mandailing Lengkap di sini
 



Bazonggier

Bazonggier is a site where you find unique and professional blogger templates, Improve your blog now for free. Kapan Nikah?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama